Akhirat..... Kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjangnya. Rumah penghabisan, tempat segala hiruk pikuk dunia ditimbang, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayaran kekurangan orang-orang yang berbuat curang.
Nun di sana. Kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi akhirat bukan sekadar tempat berkesudahan yang . terpaksa. Atau tempat pembuangan segala isi alam semesta. Ya, pada ketetapan Allah, taqdir dan kuasa-Nya, tak ada yang bisa lari dari akhirat. Tapi bagi orang-orang beriman akhirat adalah juga tempat menggantungkan cita-cita, harapan, dan puncak kebahagiaan abadi. Lain halnya bagi orang-orang yang bergelimang dosa, bergumul dengan syetan dan hawa nafsu, akhirat adalah tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak kuasa terbawa arus. Melaju. Di sana pula sampah itu mengalir. Lalu terhenti seketika. Menebus segala kotorannya. Dengan cara yang sangat mengerikan. Ia mungkin dahulu mengatakan, seperti yang diabadikan Al-Qur’an, "Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan. " (QS. Al-An’am: 29). Maka manusia sampah punya akhirannya sendiri di kampung akhirat sana. Akhiran sebagai sampah, atau bahkan lebih nista dari sampah. Suasananya sangat mengharukan. "Dan, jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang heriman,’ tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan." (Al-An’am: 27).
Akhirat. Jauh dan dekatnya sangat tergantung pada cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergantung bagaimana kita berjalan menuju ke sana. Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang sangat pasti. Akhirat yang sering terlupakan. Ia semestinya hadir di setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tergambarkan. Ia dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata, bilapun sering dirasa sebatas cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bisa menyergap tiba tiba, tapi betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.
Akhirat. Seperti sahabat sehati. Ia akan terus melambai, bila kita masih jujur padanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang Mukmin yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang Mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya.
Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan melelahkan, bertanya tentang kampung akhirat yang abadi adalah keniscayaan. Di tengah gemerlap hidup yang memacu peradaban materinya, bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian: apa kabar akhirat?
Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita sendiri? Masihkah kita menjadi pengejar akhirat? Di sini segalanya terasa sangat adil. Bila kita menjauh, Ahirat pun akan menjauhi kita. Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita mendekat, akhirat pun akan mendekat.
Kita mesti bersyukur, dari sisi yang lain, betapa dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, di lubuk hati yang paling dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala suasana jiwa, gambaran pikiran dan bahkan pilihan selera.
Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.
Kadar spiritualitas ruhani kita, adalah tambatan-tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesi-obsesi kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakkan di muka, tentang akhirat kita, kokoh atau lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari kebajikan-kebajikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan Allah, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.
Akhirat, sahabat abadi itu masih menyisakan kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini. Di sini. Saat kita masih seperti ini. Jadi, cermin itu ada di sini, bersama diri kita sendiri, bersama kadar iman kita, di tengah kadar pasang surutnya. Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.
Segala yang hidup punya pertanda. Begitu pun akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda. Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat yang kian menjauh atau lebih mendekat.
Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya kita harus bertanya, adakah akhirat telah menjauhi kita?
Tutur kala kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan capaian prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, mcnjauhi atau mendekati. Pada itu semua, mari kita bertanya, sejujurnya. Wallahu’alam
Bila akhirat menjauhi kita
17.01 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar