Secara bahasa kata sujûd (سُجُوْد) berarti “meletakkan kening ke atas permukaan bumi, merendahkan diri, dengan maksud menghormat”. Arti lain dari kata ini ialah “merendahkan diri” atau “menghinakan diri”.
Arti hakikat dari sujûd adalah “suatu bentuk perbuatan tertinggi yang dilakukan oleh orang atau sesuatu dengan cara merendahkan diri di hadapan yang dihormatinya”. Pengertian ini sifatnya umum, baik bagi makhluk yang berakal maupun yang tidak berakal. Secara terminologis kata ini berarti “pernyataan ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt. dengan cara meletakkan kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dan muka di atas lantai (tanah) sambil menghadap ke arah kiblat”.
Meletakkan kening ke atas permukaan bumi hanya salah satu bentuk amal, tetapi intinya merendahkan diri untuk menghormati, meskipun tidak dalam bentuk itu. Oleh karena itu, kata sujûd di dalam Alquran dipakai untuk menunjukkan perbuatan sujud, baik yang dilakukan oleh manusia, malaikat, maupun oleh makhluk lainnya, seperti bintang dan pepohonan.
Di dalam Alquran terdapat 91 kata sujûd beserta derivasinya. Kata sujûd dan bentukannya di dalam Alquran ditemukan sebanyak 92 kali. Dalam bentuk katasajada (سَجَدَ) sendiri dijumpai 2 kali, yaitu pada Surah Al-Hijr [15]: 30 dan S. Shad [38]: 73. Keduanya diungkapkan dalam konteks pembicaraan mengenai sujudnya para malaikat dan pembangkangan iblis kepada Tuhan.
Secara umum kata sujud di dalam Alquran digunakan dalam beberapa konteks, antara lain:
(1) pembicaraan tentang ketaatan para malaikat kepada Allah Swt. dan pembangkangan iblis, misalnya pada S. Al-Hijr [15]: 30-33, Fa sajadal-mala’ikatu kulluhum ajma‘un, illa iblisa aba an yakuna ma‘as-sajidin. Qala ya Iblisu ma laka alla takuna ma‘as-sajidin. Qala lam akun li’asjuda li basyarin khalaqtahu min shalshalin min hama’in masnun (فَسَجَدَ الْمَلاَئِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى أَنْ يَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا لَكَ أَلاَّ تَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ قَالَ لَمْ أَكُنْ لأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ = Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. Ia enggan ikut bersama-sama [malaikat] yang sujud itu. Allah berfirman, “Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak [ikut sujud] bersama-sama mereka yang sujud itu?. Berkata iblis: Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang telah Kau ciptakan dari tanah liat kering [yang berasal] dari lumpur hitam yang diberi bentuk”);
(2) uraian tentang ketaatan dan kepatuhan langit, bumi, serta benda-benda alam lainnya yang diciptakan Tuhan, umpamanya pada S. Ar-Ra‘d (13): 15, Wa lillah yasjudu man fis-samawati wal-ardhi thaw‘an wa karhan wa zhilaluhum bil-guduwwi wal-ashal (وَ للهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلاَلُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ = Hanya kepada Allah-lah sujud [patuh] segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa [dan sujud pula] bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari);
(3) larangan sujud kepada matahari, bulan, dan benda-benda alam lainnya; misalnya pada S. Fushshilat (41): 37: La tasjudu lisy-syamsi wa la lil-qamari, wasjudu lillahi al-ladzi khalaqahunna in kuntum iyyahu ta‘budun (لاَ تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا للهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ = Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah [pula] kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika hanya kepada-Nya saja kamu menyembah);
(4) pembicaraan tentang orang-orang yang taat kepada Allah SWT., misalnya pada S. Ali ‘Imran (3): 113, Laisu SAWa’an, min ahlil-kitabi ummatun qa’imatun yatluna ayatillahi ana’al-lail wa hum yasjudun (لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ = Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud [sembahyang]).
Bentuk-bentuk sujud (ketaatan) makhluk yang digambarkan di dalam Alquran ada dua macam: (1) ketaatan karena keterpaksaan dan (2) ketaatan karena kesadaran atau kerelaan sendiri. Ketaatan jenis pertama digambarkan antara lain di dalam S. An-Nahl (16): 49, Wa lillahi yasjudu ma fi as-samawati wa ma fil-ardhi min dabbatin wal-mala’ikah (وَللهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلاَئِكَةُ = Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua yang melata di bumi dan juga para malaikat). Ketaatan dan kepatuhan semacam ini dilakukan oleh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segala benda yang ada di langit dan di bumi. Ketaatan di sini di dalam konteks mengikuti hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan bagi mereka, misalnya matahari terbit di timur dan manusia mengikuti gerak rotasi bumi atau daya gravitasi bumi. Adapun ketaatan jenis kedua adalah ketaatan yang dilakukan karena menyadari dirinya sebagai hamba atau makhluk ciptaan Tuhan. Ketaatan jenis inilah yang diperintahkan Allah SWT., seperti dikemukakan di dalam S. An-Najm (53): 62, Fasjudu lillah wa‘budu (فَاسْجُدُوا للهِ وَاعْبُدُوا = Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia).
Dilihat dari subyek (pelaku)-nya, mereka terdiri dari makhluk yang berakal (di dalam Alquran dipakai nama man, مَنْ ), seperti pada firman Allah S. Ar-Ra‘d (13): 15. Man (مَنْ) yang ada di bumi antara lain adalah manusia, sedangkan man (مَنْ) yang ada di langit antara lain malaikat.
Sujud manusia kepada Allah artinya kepatuhan dan ketundukan, baik ia sebagai makhluk berakal maupun sebagai makhluk hidup lainnya, yang mengikuti ketentuan hukum alam. Sujud malaikat (S. Al-Baqarah [2]: 32, S. Al-Hijr [15]: 30, S. Shad [38]: 73) kepada Adam a.s. atas perintah Allah, diartikan sebagai menghormati manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, bukan di dalam arti beribadah/menyembah kepadanya, sebagaimana dikenal di dalam salat.
Sujud malaikat terhadap Adam berjalan sepanjang masa selama manusia ada. Di dalam Tafsir Al-Mizan, At-Tabataba’i mengatakan bahwa hidup malaikat untuk kebahagiaan dan kehidupan manusia sehingga ada malaikat pembawa wahyu, malaikat pembawa rizki, penulis pahala dan dosa, pembawa kematian dan lain-lain. Malaikat adalah Sabab Ilahi ( سَبَبٌ إلهِيٌّ ) menolong manusia untuk kebahagiaan dan kesempurnaan hidupnya, ketidaktundukan nafsu manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya.
Sujud manusia kepada manusia diartikan sebagai penghormatan, seperti sujudnya Nabi Ya‘qub dan anak-anaknya kepada Nabi Yusuf (S. Yusuf [12]: 100). Menurut Al-Azhari, seperti dikutip oleh At-Tabataba’i, ketika itu menghormati manusia dengan cara bersujud tidak ada larangannya.
Pelaku sujud kepada Allah juga terdiri dari makhluk yang tidak berakal (di dalam Alquran dipakai kata ma (مَا = sesuatu), seperti dapat dipahami dari firman Allah, misalnya pada S. An-Nahl (16): 49, Wa lillahi yasjudu ma fis-samawati wa ma fil-ardhi min dabbatin wal-mala’ikatu wa hum la yastakbirun (وَللهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلاَئِكَةُ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ = Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit, semua makhluk yang melata di bumi, dan [juga] para malaikat, sedangkan mereka [malaikat] tidak menyombongkan diri). Senada dengan ayat tersebut adalah S. Ar-Rahman (55): 6.
Pengertian sujud di sini adalah kepatuhan makhluk di dalam mengikuti hukum-hukum yang telah digariskan baginya, yang dikenal dengan “hukum alam”. Kepatuhan itu melahirkan keajegan (konstan) hukum sebab-akibat (kausalitas), yang atas dasarnya manusia dapat merumuskan teori-teori hukum alam seperti rumus-rumus kimia, fisika, astronomi, dan biologi. Rumus-rumus itu dapat diaplikasikan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang melahirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi manusia.
Sujud ada yang bersifat ikhtiyari (اِخْتِـيَارِيّ), pilihan di antara melakukan atau tidak. Manusia mukmin dengan penuh ketaatan (thaw‘, طَوْع ) memilih bersujud kepada Allah. Oleh sebab itu, ia mendapat pahala. Manusia kafir memilih tidak bersujud dan ia terpaksa mengikuti hukum alam; misalnya, mau tidak mau ia harus mengalami ketuaan, sakit, rusak, lalu mati (S. Ar-Ra‘d [13]: 15).
Istilah lain yang dipergunakan di dalam Alquran untuk sujud kepada Allah adalah qanata (قَنَتَ), seperti tersebut di dalam S. Al-Baqarah (2): 116, sabbaha(سَبَّـحَ) tersebut di dalam S. Al-Isra’ (17): 44, sa’ala (سَأَلَ) di dalam S. Ar-Rahman (55): 29, dan aslama (أَسْلَمَ) di dalam S. Ali ‘Imran (3): 83. Sujud di dalam arti ‘menghormati sesuatu selain Allah’ terdapat di dalam kata shalla ( صَـلَّى ), seperti di dalam S. Al-Ahzab (33): 56.
Sujud di dalam pengertian ‘meletakkan kening ke permukaan bumi’ sebagaimana dikenal di dalam rukun salat, di dalam ungkapan ayat-ayat Alquran seringkali disandingkan dengan kata ruku‘ ( رُكُوْع ), misalnya pada S. Ali ‘Imran (3): 43, S. At-Taubah (9): 12, S. Al-Baqarah (2): 125, serta S. Al-Hajj (22): 26 dan 77; atau disandingkan dengan kata tasbih (تَسْبِـيْح), seperti pada S. Qaf (50): 40, S. Al-Insan (76): 26, atau dengan kata qa’im (قَائِم), seperti pada S. Az-Zumar (39): 9 menunjukkan sujud sebagai kesatuan dari salat.
Sujud di dalam pengertian meletakkan dahi, kedua kaki, kedua lutut, dan kedua tangan di lantai sebagai simbol perwujudan rasa taat dan patuh kepada Allah SWT. merupakan salah satu rukun salat. Sujud dilakukan dua kali di dalam setiap rakaat salat. Pelaksanaan sujud di dalam salat didasarkan pada beberapa ayat Alquran, seperti S. Al-Fath (48): 29, Tarahum rukka‘an sujjadan yabtagun fadhlan minallahi wa ridhwana, simahum fi wujuhihim min atsaris-sujud(تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ = Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya; tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”).
Selain itu, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tata cara sujud; misalnya hadis riwayat Muslim dan An-Nasa’i dari Ibnu Abbas: Nabi menyuruh agar sujud itu pada tujuh macam anggota dan supaya seseorang tidak merapatkan rambut atau kainnya sewaktu sujud itu, yakni kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki. Hadis lain dari Wail ibnu Hujr: Saya melihat Nabi SAW. apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu kemudian kedua tangannya (riwayat Imam yang empat).
Para ulama merumuskan syarat-syarat sahnya sujud di dalam salat sebagai berikut. (1) Tidak ada yang menghalangi antara dahi (muka) dan tempat sujud, seperti kain, rambut, dan telapak tangan. (2) Bersujud di tempat yang tidak bergeser. (3) Tempat sujud tidak lebih tinggi dari tempat meletakkan kedua kaki dan lutut. (4) Dilakukan di dalam keadaan suci.
Selain sujud sebagai bagian dari salat, dikenal pula beberapa macam sujud lainnya, yaitu sujud sahwi, sujud syukur dan sujud tilawah.
Ada sujud sunah yang dilakukan di dalam maupun di luar salat jika seseorang sedang membaca atau mendengar bacaan Alquran menjumpai ayat-ayatsajdah yang semuanya ada 15 ayat, yaitu (1) S. Al-A‘raf (7): 206, (2) S. Ar-Ra‘d (13): 15, (3) S. An-Nahl (16): 49, (4) S. Al-Isra’ (17): 109, (5) S. Maryam (19): 58, (6) dan (7) S. Al-Hajj (22): 18 dan 77, (8) S. Al-Furqan (25): 60, (9) S. An-Naml (27): 26, (10) S. As-Sajadah (32): 15, (11) S. Shad (38): 24, (12) S. Fushshilat (41): 38, (13) S. An-Najm (53): 62, (14) S. Al-Insyiqaq (84): 21, serta (15) S. Al-‘Alaq (96): 19.
Kata sujud dikaitkan dengan sifat orang-orang yang taat kepada Allah, seperti di dalam S. Al-Fath (48): 29 di atas. Kata sujud juga dihubungkan dengan kataatsar (أثَر السُّجُوْد = bekas sujud) yang tampak pada wajah berupa air muka yang menunjukkan keimanan, keikhlasan, dan kesucian hati, yang menimbulan rasa kagum dan hormat kepada pemiliknya.
Mesjid sebagai bentuk ismul-makan (اسْم الْمَكَان = menunjukkan tempat) berarti ‘tempat sujud’, seperti pada S. Al-Baqarah (2): 144, 149, dan 150, serta S. Al-Jinn (72): 18. (Ahmad Thib Raya)
SUJUD
22.26 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar