Menggugat Jilbab (Bag.3)

Bismillahirrahmanirrahim..

                “Assalamu’alaikum bu ustadzah..suit..suit..ehm..ehm..godoain kita donk.”

                Aku dan Riana segera mempercepat langkah, kujawab salam mereka dengan suara sangat pelan,itu juga yang mungkin Riana lakukan .

                “Tuh kan mbak, kita pakai jilbab aja masih digodain sama pemuda-pemuda iseng, jadi kayak nggak ngaruh pakai jilbab. Bukannya turunnya surat Al ahzab 59 itu gara-gara para pemuda munafik yang suka godain wanita, makanya disuruh manjangin jilbab. Kalau kita udah manjangin gini kenapa juga masih digodain?”

                Aku tersenyum dengan sikap kritis Riana disela-sela perjalanan kami menuju tempat kami akan bertemu mbak Intan.

                “Justru itu godaan dan ujian bagi kita, ukhti. Allah mewajibakan kita berjilbab pasti ada tujuannya dan salah satunya adalah meminimalisir godaan terhadap kita. Jadi jelas, bukan karna kita yang ingin menggoda mereka, karna kita sudah menutup aurat dengan sempurna. Berbeda ketika kita masih tebar pesona dengan membuka aurat, karna memang kita ingin digoda. Kalau nggak mau digoda nggak mungkin dia membuka auratnya kan?” kutatap wajahnya lekat-lekat sebelum aku melanjutkan.

                “Posisi kita kan sudah menutup aurat dengan sempurna, jadi memang mereka yang menggoda kita imannya harus dipertanyakan, jangan menyalahkan apalagi ragu dengan jilbab yang kita pakai. Bila kita ragu artinya kita ragu dengan janji Allah.”

                “Astaghfirullah..”Riana tampak terkejut dengan jawabanku.

                Dari kejuahan aku sudah melihat mbak Intan, masih tampak sama dengan waktu aku bertemu pertama kali dengannya.

                                                                                ***

                Pertemuanku dengan mbak Intan memang masih dalam polemik yang sama, jilbab masih menjadi pengaduannya terhadapku. Namun alhamdulillah, aku dan Riana mampu meyakinkannya bahwa wanita berjilbab tidaklah seperti yang dia pikirkan. Walapun aku harus ekstra sabar menghadapinya, sepertinya makhluk bernama jilbab sudah ‘hitam’ di matanya. Pokoknya dihadapannya, jilbab tidak ada bagusnya.

                Sedikit demi sedikit, pemahaman dia tentang jilbab akhirnya runtuh. Perbedaan antara jilbab dan kerudung yang belum dia tahu, ternyata telah mampu menyihirnya. Itu sebabnya dia melihat wanita berkerudung yang memakai pakaian ketat yang sedang berpacaran, akhirnya menyamaratakan dengan wanita-wanita yang menjaga hijab dan izzahnya. Pemahaman ini ternyata tidak hanya merasuk pada mbak Intan tapi juga merusak di mata masyarakat. Masyaallah..

                Tiiddiit..Tiiddiit..

                Segera kuraih Hp yang ada di meja, tak jauh dari tempatku duduk.

                “Assalamu’alaikum mbak Aisyah, bisa bertemu sekarang juga nggak? Ditempat biasa!”

                Ada apa yaa, sepertinya penting sekali. Segera kubalas, dan meraih kunci motorku. Aku segera melaju ke tempat yang mbak Intan minta.

                Aku celingukan mencari mbak Intan, tapi nihil. Tak ada tanda-tanda dia ada ditempat itu. Kutelusuri  tempat itu, aku hanya melihat seorang wanita berjilbab yang duduk sendirian di tempat yang biasa kami tempati. Jangan-jangan..

                “Assalamu’alaikum” ragu-ragu aku menyapa.

                “Wa’alaikumsalam mba Aisyah” katanya seraya berdiri dan langsung memelukku.

                “Subhanallah, ini mbak Intan kan?” aku tak sanggup untuk menutupi kekagumanku,

                “Iya mbak,” dia makin memelukku erat dan baru aku sadari dia sedang menangis. Aku membimbingnya duduk.

                “Kok mbak nangis, kan udah pakai jilbab. Insyaallah tambah cantik,”

                “Bukan itu mbak. Tapi lebih dari itu.”

                “ Coba mbak Intan cerita dari awal.”

                “ Aku udah memakai jilbab dari seminggu yang lalu mbak, tapi nggak ada yang dukung sama sekali. Ketika aku di rumah, aku dihalangi untuk berjilbab justru oleh ke dua orang tuaku. Takut susah jodohlah, nanti dikira ikut aliran sesat lah. Belum lagi ketika aku di kantor, semua orang memandangku sinis. Sepertinya semua yang aku lakuin salah, jadi ada rasa sesal aku berjilbab, mbak,” katanya disela isak tangisnya.

                “Mbak Intan, mbak nggak perlu dukungan siapapun kalau Allah sudah mendukung mbak. Allah selalu ada bagi orang-orang yang mau mengikuti perintah-Nya. Kalau mbak ragu dan nggak yakin dengan Allah, terus mbak mau yakin
sama siapa lagi?” aku menatapnya lekat.

                “Jilbab adalah perintah-Nya. Mbak nggak perlu takut ditinggalkan siapapun kalau Allah sudah ada disamping mbak karna mbak mengikuti perintahNya. Keyakinan mbak sedang diuji, dan ujian itu untuk meningkatkan ke imannan mbak. Kalau mbak sudah menyesal sebelum mbak melangkah, mana mungkin mbak akan mampu lulus ujian! Yakinlah mbak, orang-orang yang mbak sayangi akan mengerti  nantinya,” kataku lagi.

                “Mbak nggak ngerasain apa yang aku rasain?”katanya kembali menggiring pembicaraan ini pada perdebatan, tapi aku tak pernah ingin berdebat dengannya.

                “Kata siapa aku nggak pernah ngerasain? Waktu ketemu mbak Intan pertama kali, aku kan ngerasain ditatap sini sama mba k Intan.”

                “Gimana nanti dengan pekerjaanku? Aku takut kalau aku dipecat mbak?”

                “Urusan rejeki itu jangan dibebankan pada manusia mbak, mbak ketakutan dipecat sepertinya rejeki itu Si Bos yang nanggung. Nggak lah mbak, rejeki itu datangnya dari Allah. Tak perlu takut kekurangan rejeki, karna rejeki nggak Cuma datangnya dari harta semata. Yakinlah atas Kebesaran Allah, maka mbak akan dimantapkan hatinya sama Allah.”

                Aku tersenyum padanya, mengakhiri tangisnya dan perdebatan ini. Semua ini memang tak akan pernah berakhir, sampai semua orang paham tentang pentingnya berjilbab. Sampai semua orang tahu kewajiban berjilbab. Dan
aku akan ada untuk itu semua.


Wallahua’lam bish shawwab.

 Situs BMB >>www.bukanmuslimahbiasa.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar